Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia PGRI), Sulistyo mengaku prihatin atas kekacauan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2013 tingkat SMA/MA/SMK, yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan secara nasional sejak Senin kemarin.
Ragam permasalahan UN terjadi di mana-mana. Bahkan sehari sebelum hari H
pelaksanaan UN, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh resmi
mengumumkan penundaan UN di 11 provinsi yang berada di zona Indonesia Tengah.
Artinya, ini pertama kali UN tidak dilakukan serentak sejak Indonesia merdeka.
Lalu bagaimana PB PGRI memandang sekelumit persoalan UN yang pertama
kali terjadi di Indonesia ini? Berikut penuturan Ketum PB PGRI Suslistyo
melihat persoalan UN, sekaligus pernyataan sikapnya di Jakarta, Selasa (16/4):
Belum selesai pro-kontra tentang Kurikulum 2013, kini dunia pendidikan
di tanah air dihadapkan pada kenyataan yang memprihatinkan terkait
penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) 2013.
Sejak pertama diselenggarakan tahun 2004 UN telah terjadi pro-kontra,
dan setiap tahun menimbulkan masalah. Secara prinsipil UN melanggar
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas), Pasal 58 yang menetapkan bahwa evaluasi hasil belajar peserta
didik dilakukan oleh pendidik untuk mamantau proses, kemajuan, dan
perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Perdebatan hukum dari pro-kontra UN telah sampai pada pengadilan
tertinggi yaitu adanya penolakan MA atas kasasi pemerintah (perkara Nomor 2569 K/PDT/2008)
yang berarti bahwa penyelenggaraan UN bertentangan dengan perundang-undangan
dan hak asasi manusia, khususnya hak anak.
Secara pedagogis UN telah melanggar asas-asas pendidikan yang mulia
karena telah menyempitkan makna belajar, berdampak buruk pada perkembangan
psikologi anak, dan secara sosio-politik menanamkan nilai-nilai koruptif secara
dini pada generasi muda.
Tahun 2012 PB PGRI secara internal melakukan survey tentang UN pada
guru, kepala sekolah, dan pengawas yang hasilnya tergambar sebagai berikut:
- Guru: 28,57%
menganggap UN sebagai kebijakan yang tidak tepat, dan 42,86% sangat tidak tepat
- Kepala
sekolah: Kebijakan UN tidak tepat 26,15%, dan 49.23% menganggap kebijakan UN
sangat tidak tepat
- Pengawas:
27% menganggap kebijakan UN tidak tepat dan sangat tidak tepat 41,77%
Penilaian itu disebabkan karena ternyata UN tidak berhasil mengingkatkan
semangat belajar, menimbulkan kecurangan, menimbulkan ketegangan murid, dan
menanamkan mental koruptif pada anak.
Meski demikian banyak keberatan dan dampak buruknya, pemerintahan tetap
melaksanakan UN setiap tahun. Bahkan pada 2013 nilai ujian nasional menjadi
salah satu komponen yang menentukan untuk masuk perguruan tinggi tanpa melalui
tes (SMNPTN).
Terkait hal itu tahun 2013 pemerintah membuat 20 variasi soal dilengkapi
barcode, dan menunjuk enam percetakan yang (menurut pemerintah) terbaik dan
dapat dipercaya. Namun pada pelaksanaannya ujian nasional, Senin 15 April
2013, untuk SMA/SMK sederajat sungguh kacau.
Selain 11 provinsi belum menerima paket soal, sejumlah daerah kekurangan
lembar soal dan lembar jawaban, paket mata pelajaran tertukar, hingga kualitas
kertas buruk yang mudah sobek. UN terpaksa tidak serempak karena 11 provinsi di
Indonesia Tengah dan beberapa daerah lainnya di bagian barat ujian
diselenggarakan pada tanggal 18 April.
Pemerintah dan percetakan saling lempar tanggung jawab, dan
masing-masing menganggap ini sekedar masalah teknis dan oleh karena itu
menganggap selesai dengan meminta maaf.
PGRI menganggap bahwa kekacauan ini bukan sekedar persoalan teknis,
tetapi lebih daripada itu adalah masalah humanis, masalah manusia atau human
error. Karut marut UN merupakan cerminan dari tidak kapabelnya managemen
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam meng-handle amanah dan tugas-tugas
penyelenggaraan pendidikan nasional.
Fenomena UN 2013 ini hendaknya menyadarkan kita bahwa adalah muskil
mengharapkan kemajuan bangsa ini dengan mempercayakan pendidikan pada
pihak-pihak yang tidak berkompeten. Sementara itu kita tahu bahwa
pendidikan adalah episentrum yang sangat menentukan perjalanan bangsa ini pada
masa mendatang.
Sehubungan dengan fakta dan pemikiran di atas, serta mengkaji secara
mendalam tentang penyelenggaraan UN dari masa ke masa, PGRI dengan ini
menyatakan sikap:
Bahwa penting kiranya Presiden RI untuk memberikan perhatian dan
mengaudit dengan sungguh-sungguh kinerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
sehubungan dengan berbagai masalah pendidikan yang akhir-akhir ini semakin
menunjukkan gejala disorientasi, seperti konsep Kurikulum 2013 yang
direncanakan akan dilaksanakan pada Juli 2013, dan khususnya terkait dengan
pelaksanaan UN.
Pihak berwenang, seperti BPK, perlu mengaudit tentang managemen tender
dalam penentuan percetakan soal-soal UN.
Ketidakserentakan UN disebabkan oleh tidak tersedianya soal tepat pada
waktunya, telah membuka peluang yang lebih besar untuk terjadinya kecurangan,
dan ini sangat menghawatirkan tentang akurasi dan validitas perolehan nilai
siswa. Oleh sebab itu PGRI mendesak agar SMNPTN yang menjadikan nilai UN
sebagai komponen penerimaan masuk PTN dibatalkan.
Hendaknya semua pihak berpikir bahwa inilah saatnya UN dihapuskan, dan
merumuskan kembali model evaluasi yang sesuai dengan perundang-undangan dan
model pembelajaran yang direkomendasikan/yang dipilih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar