Laman

Jumat, 19 April 2013

Membuang Uang demi Merokok

SERAMBINEWS.COM - Meski iklan tentang bahaya merokok ada di mana-mana, kebiasaan merokok tetap ada, termasuk di lingkungan kampus. Sebagian mahasiswa merokok sejak masih SMA bahkan ada yang mulai dari SMP meski di antara mereka belum punya penghasilan sendiri. Jadi, mereka menggunakan uang saku untuk membeli rokok ketimbang makanan sehat.


Di kampus, mereka dengan mudah mengabaikan larangan merokok karena lingkungannya lebih permisif. Saat masih menjadi siswa SMP atau SMA, orangtua dan guru bisa melarang dan memarahi jika mereka kedapatan merokok.


Saat kuliah, mahasiswa lebih sering berada di luar rumah dan dinilai mampu membuat keputusan penting bagi hidupnya. Mereka dianggap sudah lebih dewasa.


”Banyak teman saya, terutama laki-laki, merokok sejak lama. Sebagian kecil ada yang ingin berhenti merokok dan meminta teman-teman yang tidak merokok untuk mengingatkan jika dia menyalakan rokok lagi. Sayang, keinginan itu hanya sebatas niat,” kata Ru’in Fatimah (20), mahasiswa semester IV Program Studi Teknik Perkapalan, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Minggu (24/3/2013), di Jakarta.

Setyo Deantoro (22), mahasiswa semester VIII Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, berpendapat, sah-sah saja mahasiswa menghabiskan sebagian uang sakunya untuk membeli rokok. Menurut dia, mahasiswa lain juga memakai uang saku untuk membeli buku atau bahkan barang yang tidak perlu.


”Bagi mahasiswa, merokok mungkin salah satu cara untuk menghabiskan uang, sedangkan mahasiswi menghabiskan uangnya untuk membeli baju atau kosmetik. Itu kan sama saja,” kata Setyo yang tengah menyusun skripsi. Dia mengaku tidak suka merokok dan enggan memulai kebiasaan tersebut.


Ada larangan


Di beberapa sudut kampus Universitas Gadjah Mada, seperti di Fakultas Kedokteran, ada larangan merokok yang berlaku bagi seluruh penghuni dan pengunjung di kampus. ”Mereka yang merokok akan mengungsi ke lokasi lain yang tidak ada larangan tersebut,” kata Setyo.


Fariz Razmi (19), mahasiswa semester IV Program Studi Teknik Elektro, Universitas Indonesia, juga tak peduli dengan kebiasaan teman-teman yang merokok.


”Terserah mereka uang sakunya dipakai untuk apa. Saya tidak merokok karena dari dulu memang dilarang orangtua,” kata Fariz.


Menurut Ru’in, teman-temannya yang merokok menghormati keinginan mereka yang tidak merokok saat berada di kantin kampus.


”Biasanya mereka tidak protes saat diminta menyingkir sejenak agar kami yang ingin makan terbebas dari asap rokok,” kata Ru’in.


Larangan merokok di sekolah pada umumnya masih ditaati siswa SMA. Namun, begitu keluar pagar sekolah pelajar laki-laki kembali merokok. Pada masa ini biasanya teman-teman perempuan mereka protes dan berani menasihati agar tidak membuang uang untuk membeli rokok.


”Sayang, kan, orangtua susah-susah mencari uang malah ’dibakar’,” kata Chairani, siswa kelas X SMA Negeri 5 Pondok Gede, Bekasi.


Menurut dia dan ketiga rekannya, Arum Sari Pertiwi, Laviana, serta Nadira Ruvenda, banyak teman laki-laki mereka merokok sejak sebelum SMA. Bahkan, beberapa orangtua teman mereka mengizinkan anaknya merokok di rumah dengan alasan lebih baik melakukannya di rumah ketimbang di luar agar bisa terkontrol.


Harus diperhitungkan


Kebiasaan merokok mahasiswa biasanya dimulai sejak mereka berusia remaja, bahkan bisa terjadi sejak duduk di bangku SD. Harapannya, saat mereka menjadi mahasiswa, seiring kemampuan berpikir yang lebih dewasa, akan mampu mengurangi kebiasan merokok. Ternyata mereka tak kunjung berhenti merokok.


Psikolog Anna Surti Ariani, yang akrab disapa Nina, mengatakan, kebiasaan merokok bisa menjadi semakin bertambah saat masuk dunia perkuliahan. Apalagi sebagai mahasiswa mereka sudah bisa mengambil keputusan sendiri. Jika mereka tidak mendapat uang saku dari orangtua, pasti berbagai cara mereka lakukan untuk mendapat rokok.


”Kalau sudah kuliah, sulit bagi orangtua membatasi uang saku untuk membeli rokok karena mereka sudah bisa mengambil keputusan sendiri. Mereka juga bisa mencari uang saku sendiri,” kata Nina.


Untuk menghentikan kebiasaan merokok pada mahasiswa, menurut Nina, tidak bisa dengan cara yang sederhana. Seharusnya mahasiswa diajak berpikir untuk memperhitungkan berapa uang yang dibuang dalam sehari untuk membeli rokok, bukan hanya mengenai kenikmatan merokok.


”Misalnya, dalam sehari merokok satu bungkus butuh uang berapa, lalu berapa produktivitas yang dihasilkan. Kalau ada hasilnya, mereka pasti berani menjawab, misalnya dengan membuang uang Rp 30.000 bisa menghasilkan satu bab skripsi,” ujar Nina.


Nah, jika mahasiswa tidak menghasilkan apa-apa dengan banyaknya rokok yang diisap, Nina menganjurkan agar menghentikan kebiasaan merokok sekarang juga.


”Kalau mereka bilang merokok untuk menghilangkan stres, apakah benar? Apakah tidak ada stres tambahan yang dialami dengan merokok? Apakah tidak ada risiko kesehatan yang diderita? Banyak pertanyaan yang harus diajukan kepada mereka,” katanya.


Pengaruh lingkungan juga mempunyai peran besar bagi mahasiswa yang masih mempertahankan kebiasaan merokok. Mahasiswa mempunyai banyak waktu di kampus. Bukan hanya saat kuliah, mereka juga sering menghabiskan waktu untuk nongkrong di kantin atau lokasi lain di kampus.


”Di kampus, kami suka nongkrong di kantin kemudian kumpul bersama teman-teman yang merokok. Karena takut diledek, mereka pasti ikut merokok. Apalagi seusia mahasiswa masih membutuhkan dukungan teman-teman. Jadi, agak sulit bagi mereka menghentikan kebiasaan merokok,” kata Nina.


Seberapa kuat niat menghilangkan kebiasaan merokok, menurut Nina, bukan masalah pengetahuan mahasiswa tentang dampak merokok. Namun, harus didukung oleh orang-orang di sekitarnya. Seharusnya ada aturan tegas dari kampus untuk melarang merokok di area kampus.


Nah, mau berhenti merokok atau tidak kembali pada diri kita sendiri. Jika kita mempunyai rasa percaya diri tidak merokok, kenapa tidak mulai dari sekarang untuk berhenti. Tak perlu lagi kita membuang uang hanya karena ikut-ikutan merokok.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar